Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia digadang-gadang menjadi kiblat perkembangan ekonomi, keuangan, dan bisnis syariah dunia.
Sudah seharusnya potensi ini tidak hanya dilihat sebagai captive market, tetapi juga pendorong bagi tumbuhnya industri halal di Indonesia yang mampu bersaing secara mondial.
Industri halal memiliki banyak jenis sektor, mulai dari makanan dan minuman halal, wisata halal, media dan rekreasi halal, farmasi dan kosmetik halal, energi terbarukan hingga fesyen. Semua aneka industri halal tersebut membutuhkan Sumber Daya Insani (SDI). Kualitas SDI tentu akan berpengaruh pada kepatuhan industri halal terhadap prinsip-prinsip syariah.
Kompetensi SDI yang profesional secara Islami bisa dicapai lewat pendidikan dan pelatihan. Kehadiran Islamic Fashion Institute (IFI), yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat, merupakan respons atas perkembangan industri fesyen halal tersebut. IFI merupakan sekolah mode muslim pertama di dunia yang telah mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), dengan tetap berpegang pada kaidah dan prinsip Islam.
Kurikulum IFI dirancang sedemikian rupa sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengajaran desain busana muslim, keterampilan sosial, serta aspek kecerdasan bisnis busana muslim.
Tak jauh berbeda dengan IFI, Islamic Fashion College (IFC) merupakan suatu lembaga pendidikan dan pelatihan tata busana. IFC merupakan wadah yang dapat menampung segala kegiatan yang berkaitan dengan fasyen.
Ini merupakan sesuatu yang baru bagi Kota Manado, Sulawesi Utara, untuk meningkatkan aspek bisnis dan perdagangan busana muslim yang diproduksi di Kota Manado melalui Islamic Fashion College.
Tujuan berdirinya IFC adalah ikut mendukung program pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai kiblat fesyen Islami dunia di 2020.
Secara global, pada 2018 Indonesia menduduki peringkat ke-2 dalam top 10 GIE indicator bidang fesyen muslim dan menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan pengeluaran muslim apparel tertinggi. Angkanya sekitar 7,4% dari global expenditure.
Pada level nasional, Kementerian Perindustrian memperkirakan fesyen muslim mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,1 juta orang, atau sekitar 29 persen, dari total 3,8 juta tenaga kerja industri fesyen. Kementerian Perindustrian memperkirakan bahwa kontribusi bidang fesyen Muslim dalam PDB subsektor fesyen adalah sebesar 28,9% pada 2016 (KNEKS, 2018).
Tidak bisa dipungkiri bahwa fesyen halal mempengaruhi gaya hidup halal dan identitas diri. Fesyen dan gaya hidup saling berkaitan. Fesyen sendiri dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang menjadi konsumtif.
Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi menjelaskan bahwa imajinasi popular semacam ini dibangun setidaknya ada empat ranah. Pertama, cara berpikir popular, yaitu cara berpikir jalan pintas yang penting mendapatkan kesenangan, kalau perlu tanpa berpkir.
Kedua, komunikasi populer. Komunikasi popular ini dicirikan dakwah yang dihiasi olehi majinasi dan fantasi-fantasi yang biasa hidup di dalam budaya popular, berupa bahasa, tindakan, dan penampilan populer. Ketiga, ritual popular. Ritual ini biasanya dilakukan dengan mengikuti paradigma budaya poluler, seperti logika komoditas.
Keempat, simbol populer. Simbol atau penampilan popular ini mengarahkan pada penampilan yang mencakup nilai dari pakaian atau aksesoris yang menekankan efek kesenagan, simbol, status, tema, prestise, daya pesona, dan berbagai selera populer lainnya.
Banalitas Agama
Kehadiran industri halal, khususnya fesyen halal, memang sangat menguntungkan secara ekonomi. Namun, dampak masuknya budaya populer ke ranah fesyen halal juga perlu diwaspadai, yaitu banalitas agama.
Acara-acara semisal Muslim Fashion Festival (MUFFEST), Festival Halal Fashion, dan semacamnya terlihat lebih mementingkan gaya penampilannya ketimbang subtansi ajaran Islam. Busana yang ditampilkan lebih mementingkan mode ketimbang esensi ajaran Islam.
Dalam keadaan semacam itu, telah berlangsung “pementingan yang banal dan pembanalan yang subtansial.” Inilah banalitas agama yang merayakan penampakan luar tanpa peduli dengan makna atau nilai-nilai spiritualitas-ketuhanan di baliknya.
Pengalaman mengajarkan, sebagian besar praktik keagamaan yang dibangun oleh imajinasi populer yang menghasilkan budaya popular tidak akan pernah mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi, kecil kemungkinan mencapai kedalaman spiritual.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam perlu melepaskan diri dari perangkap budaya populer untuk kembali pada identitas keagamaan yang autentik yang tentu mengharuskan kita melalui proses yang tidak pernah tuntas, selalu berhadapan dengan tantangan dan hambatan baru.