Bisnis.com, JAKARTA -- Kanker paru menjadi salah satu kanker dengan kasus yang paling banyak ditemukan, khususnya di Indonesia, terutama karena tingginya tingkat perokok.
Dr. Sita Laksmi Andarini dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, kanker paru pada banyak kasus tidak terdeteksi sehingga sulit diobati karena kebanyakan pasien datang ketika sudah pada stadium lanjut.
Adapun, beberapa gejala kanker paru yang kerap dialami di antaranya adalah batuk menetap, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, sakit seluruh badan, dan berat badan menurun.
Namun, gejala-gejala tersebut umumnya muncul ketika sudah pada stadium lanjut. Pasalnya, dr. Sita menjelaskan, bahwa paru tidak memiliki saraf perasa. Namun, saraf tersebut ada pada lapisan yang melapisi paru.
"Jadi kalau kankernya belum mengenai lapisan tersebut tidak akan terasa atau ada gejala, kalau sudah sampai di lapisan itu biasanya sudah stadium lanjut. Karena itu, kita perlu lakukan upaya skrining kanker paru," ujarnya dalam media briefing, Senin (4/12/2023).
Di samping itu, dalam beberapa kasus kanker paru juga menunjukkan gejala stroke, kenapa?
Dr. Sita menjelaskan hal itu karena ada penyebaran kanker atau metastasis ke otak, sehingga terjadi blokade di otak dari tumor yang ada di otak.
"Beberapa pasien juga terdiagnosis kanker paru karena sebelah badannya terkena stroke, kemudian ketika dilakukan CT Scan atau MRI otak, terlihat ada tumor di otak, ternyata asalnya dari kanker paru," jelasnya.
Berdasarkan data WHO, kanker paru menjadi salah satu penyakit paling mematikan di dunia, yang terjadi pada jutaan orang setiap tahun, tidak terdiagnosis dan akhirnya tidak terobati.
Untuk mencegah terkena kanker paru, berhenti merokok dan menghindari asap rokok dan polusi menjadi salah satu solusi yang paling penting, mengingat 80 persen penderita kanker paru adalah perokok.
Adapun, beberapa faktor risiko penyebab kanker paru adalah bagi perokok, orang yang bekerja di pertambangan atau pengolahan bahan kimia, terpapar pajanan asbes, polusi, orang yang memiliki riwayat Tuberkulosis (TBC), dan orang dengan riwayat keluarga yang memiliki kanker paru.
Di Indonesia sendiri, usia penderita kanker paru cenderung lebih muda 10 tahun dibandingkan dengan yang ada di negara lain. Dr. Sita menyebutkan, kasus kanker paru terbanyak ditemukan pada usia 45-54 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi di usia yang lebih muda seperti mulai dari anak-anak atau usia 15 tahun ke atas.
Untuk itu, diperlukan skrining secara berkala meskipun tanpa gejala bagi orang-orang dengan faktor risiko tersebut. Skrining dilakukan untuk menemukan kasus pada populasi sehat.
Skrining dapat dilakukan kepada populasi tanpa gejala pada usia di atas 45 tahun, perokok aktif, atau bekas perokok lebih dari 10 tahun, memiliki riwayat pekerjaan berhubungan dengan bahan kimia, silica, dan asbes; fibrosis paru, dan riwayat tb paru.
Selain itu, skrining juga perlu dilakukan pada kelompok masyarakat usia di atas 40 tahun yang kalau memiliki riwayat keluarga kanker paru.
"Skrining bisa dilakukan menggunakan BPJS, bisa mendapat rujukan dari puskesmas untuk melakukan CT Scan Thorax tanpa kontras. Skrining ini bisa dilakukan 2 tahun sekali di rumah sakit rujukan Tipe D, Tipe C," sambungnya.