Antibiotik/telegraph.co.uk
Health

Miris, Penggunaan Antibiotik di Indonesia Terlalu Bebas

Rezza Aji Pratama
Kamis, 8 Juni 2017 - 14:57
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kendati kampanye soal resisten antibiotik sudah digencarkan, sayangnya hingga saat ini penggunaannya masih terlalu bebas.

Bahkan, menurut Harry Parathon, seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi, membawa pulang antibiotik dari apotek dan toko obat di Indonesia semudah memborong multivitamin.

Harry mengakui penggunaan antibiotik secara tidak bijak bahkan juga dilakukan oleh tenaga kesehatan.

“Pembelian antibiotik sejatinya harus sesuai dengan resep dokter. Namun, tidak sedikit dokter yang meresepkan antibiotik secara berlebihan,” katanya.

Resisten antibiotik adalah persoalan sederhana yang berdampak luar biasa. Persoalan global ini bermuara pada penggunaan antibiotik yang tidak bijak. “Antibiotik adalah obat keras tetapi pemakaiannya sembarangan,” ujar Harry Parathon.

Harry yang juga memimpin Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA)—lembaga di bawah Kementerian Kesehatan yang didirikan pada 2014—juga mengungkapkan hingga saat ini belum ada potret lengkap soal dampak buruk resisten antibiotik di Indonesia. “Risetnya belum dilakukan karena terbentur biaya,” keluhnya.

Maka, setiap kali Harry berbicara di seminar dan diskusi publik tentang resisten antibiotik, ia selalu membawa data dari negara tetangga. Di Thailand, misalnya, setidaknya terdapat 140.000 kasus infeksi per tahun dengan 30.000 kematian. Sementara itu di India, hanya dalam waktu empat tahun jumlah antibiotik yang tak lagi ampuh melonjak dari 7 menjadi 21 jenis.

Harry mengakui, saat ini KPRA memang tengah melakukan riset terhadap 18 rumah sakit di Indonesia. Hasil hipotesa awal menunjukkan bahwa beberapa bakteri seperti E.coli, methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA), klebsiella pneumoniae, hingga bakteri golongan pseudomonas diketahui semakin tangguh menghadapi antibiotik.

Khusus bakteri yang disebutkan terakhir merupakan penyebab utama infeksi nosokomial—kasus infeksi yang terjadi di rumah sakit.

“Di negara berkembang termasuk Indonesia, prevalensi penularan infeksi nosokomial meningkat hingga 40%. Bahkan, 50% bayi baru lahir yang terjangkit infeksi memiliki tingkat probabilitas kematian lebih tinggi hingga 12% - 52%,” ungkap Ronald Irwanto, Sekjen Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin).

Editor : Nurbaiti
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro