Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan jumlah penderita kanker serviks (mulut rahim) terbanyak di dunia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan mencatat kanker serviks dan payudara merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di Indonesia pada 2013, masing-masing sebanyak 0,8% dan 0,5%.
Provinsi Kepulauan Riau, Maluku Utara dan Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks tertinggi, yaitu 1,5%. Penderita kanker serviks terbanyak diestimasikan terdapat pada Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sepanjang 2010-2013, kanker payudara, kanker serviks dan kanker paru-paru merupakan tiga penyakit terbanyak di RS Kanker Dharmais dengan jumlah kasus baru serta jumlah kematian yang terus meningkat.
Kanker serviks, terutama tipe 16 dan 18, biasanya tidak menunjukkan gejala atau keluhan pada tahap awal. Gejala atau keluhan biasanya baru muncul saat kanker sudah memasuki stadium 2 atau lebih.
Keputihan yang berulang meski sudah diobati menjadi salah satu gejalanya. Keputihan yang berair dan bercampur darah, juga bisa memiliki bau busuk, berwarna jernih atau kecokelatan.
Juga postcoital bleeding (pendarahan pascasenggama), kerap menjadi gejala yang dirasakan, meski tidak selalu merujuk pada kanker serviks. Pendarahan vagina yang tidak beraturan adalah gejala yang paling umum dari kanker serviks.
Pendarahan dapat terjadi antara periode menstruasi atau setelah berhubungan seks. Pendarahan ini juga dapat terjadi pada wanita yang sudah menopause. Selain pendarahan vagina, nyeri panggul ketika berhubungan seksual juga menjadi gejala dari kanker ini.
Kanker serviks adalah jenis kanker yang terjadi pada sel-sel leher rahim yang terletak pada bagian rahim yang terhubung ke vagina. Human Papilloma Virus atau HPV adalah penyebab sebagian besar kasus kanker serviks. Ini merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sangat menular melalui hubungan seksual dan atau kontak langsung kulit ke kulit di daerah genital.
“Meski begitu, bukan berarti kanker ini tidak bisa dihindari,” kata dokter Fitriyadi Kusuma yang juga pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dia menuturkan, penyebab dan kehadiran kanker serviks dapat dideteksi, terlebih kanker ini termasuk slow-growing. Diperlukan fase yang panjang dari tahap infeksi sampai menjadi kanker. HPV memiliki masa inkubasi selama 9-12 bulan dan kemudian memasuki fase lesi pra-kanker.
Terdapat tiga sub pada fase ini, yakni Atypical, Low Grade Lession dan High Grade Lession. Jika terus berkembang, maka barulah menjadi kanker.
Sampai pada Low Grade Lession, masih ada kemungkinan infeksi HPV menghilang meski tanpa tindakan medis. Hal itu karena HPV merupakan virus yang sangat selektif yang hanya berkembang di lingkungan yang sesuai.
Lebih lanjut, dokter Fitriyadi mengungkapkan terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker serviks. Antara lain menikah di usia muda (15-20 tahun), yang di usia ini masih terjadi perubahan sel (metaplasia) pada mulut rahim.
Faktor risiko lain adalah berganti pasangan seksual serta terinfeksi gonorhea (kencing nanah), sifilis, herpes, atau HIV. Selain itu, mengonsumsi pil KB kombinasi juga dapat memicu perkembangan HPV, tetapi tidak menyebabkan timbulnya HPV. Faktor risiko selanjutnya adalah kekurangan vitamin C, D, E, asam folat dan mineral.
DETEKSI
Untuk mengantisipasi serangan kanker serviks, proses skrining menjadi hal yang penting dilakukan agar terhindar dari penyakit ini. Sejak aktif berhubungan seksual, pemeriksaan setiap tahun diperlukan untuk memantau kondisi organ kewanitaan. Perkembangan ilmu dan teknologi medis saat ini telah menghasilkan beberapa metode pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendeteksi lesi pra-kanker.
Pertama adalah IVA. Menurut dokter Fitriyadi, IVA merupakan metode pemeriksaan yang paling mudah, murah dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Dalam metode pemeriksaan ini mulut rahim dibalur dengan asam cuka 25% dan reaksi yang terjadi kemudian dianalisis.
Metode berikutnya adalah Papsmear. Tes ini dilakukan dengan pengambilan contoh sel-sel yang dilepaskan (eksfoliasi) dari lapisan epitel serviks. Sel-sel tersebut akan tampak tidak normal bila terjadi perubahan karena infeksi HPV, lesi pra-kanker atau kanker jika diperiksa di laboratorium.
Selanjutnya adalah metode pemeriksaan dengan tes DNA HPV. Pemeriksaan molekuler ini memiliki tingkat akurasi hingga 99%. Tes ini bahkan dapat mendeteksi kemungkinan timbulnya lesi pra-kanker meski belum terjadi perubahan pada sel.
Kolposkopi merupakan metode pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan ini menggunakan alat yang dilengkapi dengan lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi. Jika memang ditemukan adanya jaringan yang terinfeksi, biopsi terarah (pengambilan sejumlah kecil jaringan tubuh) dapat dilakukan dengan alat ini.
Selain pemeriksaan rutin, tindakan yang perlu dilakukan adalah mendapatkan vaksinasi HPV. Vaksinasi ini dapat dilakukan oleh wanita berusia mulai 9 sampai 55 tahun, meski masa terbaik adalah pada usia 9 – 12 tahun. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali, yakni pada 0 bulan, 1-3 bulan dan 6 bulan.
“Dengan vaksinasi dan pemeriksaan rutin, tak perlu khawatir kanker akan menyerang organ kewanitaan.”