Bisnis.com, JAKARTA – Studi baru menemukan bahwa tes yang dirancang untuk memeriksa apakah seseorang terinfeksi virus corona baru atau Covid-19 mungkin tak lagi bekerja pada mereka yang hanya mengalami gejala ringan.
Para peneliti di University of Oxford melakukan tes antibodi pada lebih dari 900 petugas kesehatan dan menemukan jumlah hasil negatif dengan jumlah yang signifikan, bahkan di antara mereka yang kemungkinan besar telah terinfeksi Covid-19.
Temuan ini menimbulkan keraguan baru tentang keakuratan tes pengujian dan bagaimana tes itu dapat digunakan untuk membantu negara menerapkan kebijakan dan upaya preventif guna menekan penyebaran virus, misalnya lockdown dan pembatasan jarak sosial.
Studi ini menunjukkan bahwa sepertiga dari mereka yang dites negatif melaporkan telah kehilangan indera perasa atau bau, yang merupakan gejala umum para penderita Covid-19. Sementara yang lainnya berada di ambang batas untuk hasil positif, tetapi dilaporkan tidak pernah memiliki gejala.
Tim Walker, salah satu penulis penelitian mengatakan bahwa temuan ini menyatakan ambang batas dari apa yang dianggap sebagai hasil positif telah ditetapkan terlalu tinggi. Dia menyebut hasil di bawah batas memperlihatkan adanya peningkatan proporsi orang yang kehilangan indera penciuman atau perasa.
“Ini menunjukkan bahwa ambang batas pengujian hilang pada orang dengan penyakit ringan. Tentu saja akan ada banyak orang juga yang tidak memiliki gejala apa pun dan masih memiliki antibodi,” katanya seperti dikutip Metro UK, Selasa (4/8).
Tes antibodi sebelumnya dapat mendeteksi tanda-tanda infeksi dalam darah yang hanya akan muncul jika tubuh terpapar virus. Tes ini dapat mengetahui apakah seseorang pernah terinfeksi Covid-19 kapan saja dalam hidupnya, berbeda dengan tes lain yang hanya memeriksa apakah orang terinfeksi saat ini.
Di Inggris, pemerintah setempat berencana mendistribusikan jutaan tes antibodi secara gratis kepada publik dan tes ini telah dijual secara pribadi selama beberapa bulan terakhir. Saat ini, setidaknya ada empat jenis tes yang digunakan di Inggris.
Hasil menunjukkan tes-tes tersebut rata-rata 11 persen kurang akurat daripada yang diyakini sekarang. Ini sebagian terjadi karena tes dikembangkan menggunakan sampel dari pasien dengan kasus yang parang, seringkali adalah pasien yang berada di rumah sakit.
Walker mengatakan ambang batas untuk tes antibodi telah ditetapkan dengan tingkatan tinggi untuk memastikan bahwa orang yang tidak memiliki antibodi tidak salah diberitahu bahwa mereka terinfeksi virus.
Para ilmuwan sekarang menyerukan ambang batas antara hasil negatif dan positif untuk ditinjau dan dinilai kembali. Mereka masih belum mengetahui seberapa efektif antibodi dalam melindungi orang dari infeksi virus corona untuk kedua kalinya atau berapa lama kekebalan ini bakal bertahan.
Namun, jika temuan ini bisa dibuktikan di masa depan, seseorang akan dapat diberikan semacam ‘paspor kekebalan’ sehingga mereka dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa khawatir risiko infeksi virus.
Akan tetapi jika ambang batas tes positif tetap tinggi, para ahli memperingatkan bahwa itu bisa berarti ribuan orang yang benar-benar memiliki antibodi dapat dipaksa kembali melakukan tindakan penguncian dan isolasi mandiri.
Pada bulan lalu, para peneliti dari Birmingham juga menemukan bahwa tes antibodi hanya efektif tiga hingga empat minggu setelah seseorang terinfeksi, dan kemudian kehilangan keakuratannya seiring dengan berjalannya waktu.