Bisnis.com, JAKARTA - Sepanjang dekade 1990-an, nyaris tidak ada film animasi Indonesia yang tampil di layar lebar. Sebagian besar justru didominasi animasi dari Jepang dan Amerika Serikat.
Baru pada era 2000-an, animasi karya anak negeri mulai mencuat ke permukaan. Ditandai dengan hadirnya film Janus: Prajurit Terakhir (2003) yang menggabungkan animasi dan aktor serta aktris nyata.
Setelah itu film animasi sempat vakum, tren animasi muncul lagi menjelang 2010-an. Berdasarkan catatan filmindonesia.or.id, saat itu ada sejumlah film animasi yang dirilis seperti Meraih Mimpi (2009), Petualangan si Adi (2013), dan Battle of Surabaya (2015).
Tren ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya hingga sekarang. Hal itu terlihat dari hadirnya Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir (2017), Knight Kris (2017), Titus: Mystery of The Enygma (2020), dan Riki Rhino (2020).
Tren film animasi dalam 3 tahun belakangan ini memang tak dapat dipisahkan dari perkembangan media sosial. Hadirnya platform berbagi gambar dan video memudahkan seseorang untuk menampilkan karya. Tak terkecuali para para kreator animasi.
Hal inilah yang terjadi pada karakter animasi Si Juki, besutan komikus Faza Ibnu Abdullah. Sebelum ke layar lebar, Si Juki berangkat dari komik setrip di dunia maya. Lantaran kepopulerannya, karakter ini diangkat ke layar lebar pada 2017 dengan judul, Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir.
Kreator si Juki, Faza mengakui medsos berperan banyak dalam mengangkat pamor animasi lokal. Animator, dalam hal ini cukup dimudahkan untuk menampilkan karya-karya mereka di medsos karena tanpa perlu harus menunggu stasiun televisi atau produser film yang meliriknya.
Selain itu, medsos juga memiliki jangkauan yang luas, sehingga sangat mungkin karya-karya mereka disaksikan jutaan pasang mata.
“Internet, khususnya platform digital itu membuka jalan. Animasi-animasi Indonesia itu akhirnya banyak diketahui publik lewat sana. [Karakter] Si Juki pun dikenal dari internet sebelum akhirnya dibuatkan film oleh salah satu produser,” katanya tak lama ini.
Walau sudah menjadi selebritas di medsos, rupanya tak mudah bagi Faza meyakinkan produser untuk memproduksi animasi Si Juki. Biaya produksi film animasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan film non-animasi menjadi kendalanya.
Menurutnya, ada produser yang menawarkan agar Si Juki ini dibuat syuting film saja. Tetapi hal itu ditolaknya, karena Faza justru ingin mengangkat karakter animasi dan industrinya.
"Banyak yang ragu karena [film] animasi sebelumnya penontonnya paling banyak 100.000 saja,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, film yang disutradarai langsung oleh Faza itu menghabiskan biaya lebih dari Rp10 miliar. Proses produksi memakan waktu hampir 2 tahun dengan jumlah awak mencapai 100 orang.
Namun, besarnya biaya produksi Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir terbayar lewat jumlah penonton yang tercatat lebih dari 630.000 orang. Jumlah itu terbilang fantastis untuk sebuah film animasi lokal.
“Sejak itu, produser tak ragu lagi menggarap film animasi lokal. Pada tahun ini seharusnya jika nggak ada pandemi sedang ramai-ramainya film animasi lokal di bioskop.”
Upaya tersebut juga perlu diiringi dengan penjualan berbagai pernak-pernik untuk memperkuat bisnis hak kekayaan intelektual (HAKI) karakter.
“Nilainya animasi itu ada di IP [intellectual property] karakter. Seberapa kuat nilai dari sebuah karakter. Karena pendapatan terbesar bisnis animasi ini ada di IP, penjualan lisensi merchandise terutama," ujarnya.
Bila Si Juki mengawali kemunculan dari medsos, lain halnya dengan Adit & Sopo Jarwo. Animasi ini meniti jalan lama, yaitu tampil di layar televisi dengan format serial. Kendati harus bersaing dengan animasi-animasi impor, animasi produksi MD Animations ini tetap bertahan.
Direktur Utama MD Pictures Manoj Punjabi menilai karakter Adit & Sopo Jarwo sudah sangat layak untuk dibuat dalam bentuk film panjang, alih-alih hanya serial yang setiap episodenya berdurasi kurang dari 30 menit.
Padahal, beberapa tahun lalu Manoj masih ragu memboyong Adit, Denis, Mita, dan karakter-karakter lainnya tampil di bioskop, walaupun sudah ada permintaan dari publik.
“Sekarang sudah saatnya, permintaan ada, rating di MNC TV sudah sangat tinggi. Brand-nya sudah ada atau sudah dikenal luas, tak kalah dari Upin-Ipin di Malaysia. Sayang kalau tidak dibawa [ke layar lebar]. Belum ada animasi Indonesia yang sebesar ini dan tayang di bioskop,” katanya.
Selain itu, animo masyarakat terhadap film animasi karya anak bangsa juga menjadi salah satu pertimbangannya. Minat masyarakat menyaksikan animasi lokal menurutnya cukup tinggi. Hal ini terbukti dari suksesnya Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir dan animasi Nussa.
Di sisi lain, Manoj tak memungkiri biaya produksi film animasi juga menjadi pertimbangan pihaknya, ketika memutuskan apakah Adit & Sopo Jarwo layak untuk difilmkan. Dia dak ingin mengikuti jejak beberapa film animasi yang tak berhasil mencuri perhatian penonton dan akhirnya merugi.
“Biaya produksinya [film animasi] tinggi, satu film kalau kita mau bikin yang bagus itu bisa Rp15 miliar. Film animasi itu tujuh menitnya [biaya produksi] bisa Rp200 juta-300 juta an lho. Itu kendala utamanya, kalau SDM saya rasa sudah mampu kalau kita,” ungkap Manoj.
Sementara itu, pandemi Covid-19 yang merebak di Tanah Air sejak awal Maret 2020 membuat rencana rilis Adit & Sopo Jarwo The Movie terhambat. Namun, Manoj memastikan bahwa film animasi andalannya itu akan dirilis dalam waktu dekat melalui platform video sesuai permintaan (video on demand/VOD) Disney+ Hotstar.