Bisnis, JAKARTA - Kehamilan mungkin menjadi anugerah bagi pasangan suami istri dengan harapan bayi yang dilahirkan nanti dalam kondisi sehat dan sempurna. Namun pada beberapa kasus, ternyata bayi yang lahir mengalami kelainan genetik seperti down syndrome.
Down syndrome adalah kelainan genetik yang disebabkan ketika pembelahan sel menghasilkan bahan genetik tambahan dari kromosom 21. Kelainan genetik ini menyebabkan penderitanya memiliki tingkat cerdaskan yang rendah dan kelainan fisik yang khas.
Kasus down syndrome di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, pada anak berusia 24-59 bulan ditemui kasus down syndrome sebanyak 0,12%. Lalu pada Riskesdas 2013 kasus kelainan genetik ini mengalami peningkatan sebanyak menjadi 0,13% dan data terakhir pada Riskesdas 2018 menunjukkan kasus meningkat 0,21%.
Dokter Kandungan di MRCCC Siloam Hospital Andriansjah Dara menjelaskan ibu hamil normal setidaknya memiliki 23 pasang kromosom. Namun dalam kasus ibu yang mengandung anak down syndrome, dia memiliki 47 kromosom karena ada satu kromosom tambahan para kromosom nomor urut 21 atau yang disebut trisomi 21.
Ada sejumlah faktor risiko ibu mengandung anak dengan down syndrome. Faktor paling besar yakni usia ibu yang cukup tua untuk hamil yakni di atas 35 tahun. Pada era sekarang ini, kata Dara, banyak wanita di kota besar yang menunda pernikahan hingga usia 30 tahun ke atas. Ada juga yang memutuskan menunda punya anak pascamenikah karena alasan pekerjaan. Ketika memutuskan program untuk hamil, akhirnya menjadi sulit hingga terjadi kehamilan terjadi pada usia optimal.
“Usianya 35 tahun ke atas itu berisiko membuat kelainan. Mulai dari kelainan untuk ibu seperti hipertensi, termasuk kelainan kromosom atau genetik dalam hal ini down syndrome. Faktor penyebabnya usia ibu lebih tua,” sebutnya.
Selain usia ibu, menurut catatan Kementerian Kesehatan, faktor risiko down syndrome berikutnya adalah genetik keturunan orang tua, pernah melahirkan bayi down syndrome, jumlah saudara kandung dekat jarak lahirnya, kekurangan asam folat, dan faktor lingkungan seperti paparan bahan kimia dan zat asing, contohnya rokok dan asapnya.
Kendati demikian, Dara menambahkan bahwa anak down syndrome memiliki angka harapan hidup yang cukup tinggi. “Down syndrome dapat hidup normal panjang hanya ada sedikit keterbatasan yang bisa dilatih. Di trisomi lain T13 (sindrom pantau) dan T18 (sindrom edward) angka keberlangsungan hidupnya kecil,” ungkapnya.
Medical Advisor PT Cordlife Persada dr. Meriana Virtin, mengatakan ada metode untuk mendeteksi adanya risiko trisomi pada bayi sejak masih dalam kandungan melalui Non Invasive Prenatal Testing (NIPT) yang merupakan sebuah screening untuk membantu mendeteksi berbagai kelainan kromosom termasuk di antaranya trisomi 21.
Dia menjelaskan screening NIPT direkomendasikan oleh The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) untuk dapat dilakukan oleh semua wanita hamil, terlepas dari usianya. Caranya dengan menganalisis cell free DNA dari janin yang terdapat pada darah ibu, dan dapat dilakukan sejak usia kehamilan 10 minggu hingga 24 minggu.
Mariana mengatakan hasil NIPT biasanya diperoleh 10-14 hari sejak pengambilan sampel darah. Hasilnya bisa 2 jenis yakni high risk dan low risk. Apabila hasilnya menunjukkan risiko tinggi, ibu hamil tersebut disarankan melakukan pemeriksaan lanjutan dengan pengambilan cairan ketuban kemudian diperiksa genetik apakah ada trisomi atau tidak. “Kalau high risk baru dilanjutkan pemeriksaan invansif atau diagnostiknya. Ini bisa dipakai untuk screening trisomi tadi,” sebutnya.
Dengan pemeriksaan ini diharapkan ibu lebih siap secara mental jika nyatanya dia mengandung anak down syndrome.
HARAPAN HIDUP
Bendahara Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) II Eliza Octavianti Rogi mengatakan anak dengan down syndrome bisa berkomunikasi dengan anak lain, memiliki harapan dan keinginan seperti anak normal lainnya, dan memiliki semangat dalam meraih kemajuan pada diri mereka.
”Mereka senang bergaul, anak yang hangat gembira, punya potensi bakat yang bisa menjadi bekal untuk di kemudian hari dan mereka bisa berpartisipasi di masyarakat,” tegasnya.
POTADS berupaya untuk menampilkan harapan dan prestasi anak dengan down syndrome itu, hingga akhirnya banyak dari anak tersebut kini bisa berpartisipasi di masyarakat dan mendapat pekerjaan.
“Anak kami dinilai tidak punya masa depan, beban keluarga, anak yang harus dijauhi atau dikucilkan. Dengan mengekspos anak kami, masyarakat punya gambaran utuh, mereka punya potensi yang dikembangkan,” tuturnya.
Eliza pun terus berharap agar masyarakat secara utuh menerima anak down syndrome dan memberi ruang gerak yang lebih luwes untuk mereka mengembangkan diri.
Pandangan negatif memang tidak bisa dihindarkan. Di sini penting bagi orang tua untuk terus menguatkan mentalnya. Selain itu, anak juga perlu dibekali pemahaman adanya reaksi kurang menyenangkan dari orang laun.
Edukasi juga harus digaungkan kepada orang terdekat dan sekitar untuk bisa menerima anak istimewa ini. “Memang tidak mudah, harus bermental baja,” kata Eliza.