Bisnis.com, JAKARTA - Virus corona varian Delta Plus semakin mengganas. Profesor Zubairi mengatakan jika Delta Plus ini tahan terhadap terapi antibodi monoklonal yang baru saja disahkan di India.
Pada dasarnya, antibodi monoklonal merupakan protein yang diproduksi secara artificial melalui rekayasa genetika dengan teknik tertentu. Protein ini dibuat untuk meniru kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan antigen berbahaya seperti virus.
Food and Drug Administration (FDA) dan European Medicines Agency (EMA) tengah mengembangkan antibodi monoklonal sebagai terapi untuk mengobati Covid-19.
Pada dasarnya sistem kekebalan tubuh manusia telah menghasilkan antibodi sebagai pertahanan terhadap molekul asing atau disebut antigen. Namun kini, para ilmuwan juga bisa memproduksi antibodi untuk dimasukan ke dalam darah.
Antibodi monoklonal adalah salinan identik dari antibodi yang menargetkan satu antigen spesifik. Para ilmuwan dapat membuat antibodi monoklonal dengan mengekspos sel darah putih ke antigen tertentu.
Saat ini Eli Lily and Company tengah mengembangkan terapi antibodi yang berbeda yakni Monoterapi Bamlanivimab dan terapi kombinasi Bamlanivimab dengan Etesevimab.
Pada Februari 2021, FDA telah memberikan telah mengeluarkan otorisasi penggunaan darurat (EUA) untuk terapi kombinasi Bamlanivimab dengan Etesevimab.
Terapi ini digunakan untuk pengobatan Covid-19 ringan hingga sedang pada orang dewasa dan pasien anak-anak yang dinyatakan positif Covid-19 dan mereka memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi Covid-19 kronis.
Namun, pada 24 Maret 2021, Eli Lilly dan Perusahaan menghentikan distribusi monoterapi bamlanivimab.
Dilansir dari Medical News Today, Eli Lily and Company mengumumkan kombinasi terapi Bamlanivimab dan Etesevimab mengurangi risiko rawat inap dan kematian Covid-19 sebesar 87 persen pada orang dengan gejala ringan hingga sedang yang berisiko tinggi terkena penyakit parah.