Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia saat ini menghadapi tiga permasalahan malnutrisi (triple burden malnutrition), yaitu kekurangan gizi (stunting & wasting), kelebihan gizi atau kelebihan berat badan (obesity), dan kekurangan gizi mikro (anemia).
Malnutrisi kurang gizi terjadi ketika seseorang tidak memperoleh asupan gizi yang memadai, seperti protein, energi, vitamin, dan mineral pada saat usia janin (menghasilkan stunting) maupun di proses tumbuh kembang setelah lahir (menghasilkan wasting dan gizi buruk kronis).
Masalah kelebihan gizi terjadi ketika asupan kalori dan nutrisi ber-lebihan, terutama yang terkait dengan pola makan yang tidak sehat dan jarang berolahraga. Sementara itu, kekurangan gizi mikro melibatkan keku-rangan vitamin dan mineral penting, seperti zat besi, asam folat, vitamin A, Zink yang diperlukan oleh tubuh untuk fungsi yang optimal.
Kekurangan ini berdampak pada terjadinya anemia. Anemia pada anak terutama di usia remaja memiliki berbagai dampak buruk, antara lain penurunan imunitas tubuh, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran dan produktivitas.
Menurut data Riskesdas 2018, terdapat lebih dari 25% remaja putra dan putri mengalami stunting, lebih dari 10% remaja putra mengalami was-ting atau kekurusan, lebih dari 10% remaja putra dan putri mengalami obesitas dan seki-tar 23% remaja putri umur 14 hingga 18 tahun terindikasi mengalami kekurangan zat besi atau mengalami anemia.
TANTANGAN 2024—2029
Pemerintah melakukan berbagai intervensi pen-ting dan kebijakan nasi-onal untuk mempercepat penurunan angka malnut-risi di Indonesia, termasuk Peraturan Presiden No. 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Pemerintah menetapkan sasaran penurunan stunting hingga angka 14% pada 2024 dari angka 37% di tahun 2014.
Angka sasaran ini ambisius karena berdasar-kan data Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, preva-lensi stunting nasional masih berada pada angka 21,6%.Hal penting untuk dicer-mati di dalam perkembangan penanganan masalah tiga permasalahan malnutrisi ada-lah timpangnya capaian antar daerah di Indonesia di dalam menangani permasalahan gizi.
Sebaran provinsi dengan angka prevalensi balita yang memiliki masalah obesitas yang tinggi banyak terdapat di Indonesia bagian barat. Sementara itu sebaran angka prevalensi balita stunting, wasting, dan gizi buruk kronis tertinggi banyak terdapat di Indonesia bagian timur.
Untuk sebaran prevalensi stunting yang rata-rata nasionalnya adalah 21,6% per tahun 2022, ternyata prevalensi tertinggi berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 35,3%, sementara prevalensi terendah berada di Provinsi Bali sebesar 8%.
Ketimpangan yang berat di wilayah timur juga bisa dilihat di prevalensi wasting yang angka prevalensi nasionalnya per 2022 sebesar 7,7%. Data menunjukkan bahwa angka prevalensi balita wasting terbesar ada di Provinsi Maluku sebe-sar 11,9%, sementara yang terendah ada di Provinsi Bali sebesar 2,8%.
Berbagai inter-vensi dan program pemerintah belum bisa diakses oleh semua orang.Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk memas-tikan konvergensi lintas sektor dan aktor dalam hal penyelesaian permasalahan gizi. Penelitian Bank Dunia di 2018 menunjukkan bahwa investasi terkait nutrisi mem-berikan imbal ekonomi yang tertinggi di antara intervensi lain di sektor kesehatan, yaitu sebesar US$48 dari setiap dolar yang diinvesta-sikan.
Dampak transforma-tif dari upaya memastikan gizi yang baik pada anak usia dini melampaui man-faat kesehatan dan secara positif memengaruhi hasil pembelajaran, produktivitas, dan pendapatan di masa depan, serta meminimalkan kemungkinan anak menga-lami penyakit tidak menular (PTM) di kemudian hari.
Efek berganda ini berkontri-busi kepada upaya Indonesia mencapai target 2, 3 dan 4 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) serta target nasional untuk pre-valensi stunting sebesar 5% pada 2045.Dengan demikian, pemerintah perlu meningkatkan pendanaan layanan gizi dan kesehatan di tingkat nasional dan daerah, dengan berfokus pada seribu hari pertama kehidupan anak dan dukung-an layanan kesehatan yang mencakup keseluruhan siklus hidup.
Fokus spesifik pada seribu hari pertama kehidupan anak mewajibkan perbaikan dukungan pada kesehatan ibu hamil, bersalin dan menyusui serta layanan kesehatan dasar bagi bayi. Periode spesifik ini merupakan periode kunci di dalam pencegahan malnutrisi dan penurunan kematian ibu dan bayi.
Dalam hal belanja spesifik untuk penanganan malnutrisi, pemerintah perlu memperkuat sistem untuk mengevaluasi belanja anggaran terkait gizi, memastikan efektivitas belanja gizi terkait ketepatan sasaran dan ketepatan manfaat inter-vensi terhadap penurunan angka malnutrisi pada anak.
Kesemua investasi ini mutlak untuk ditopang oleh penyediaan dan pemanfaat-an data yang akurat tentang permasalahan malnutrisi.
Data yang akurat merupakan prasyarat utama untuk peng-anggaran dan pelaksanaan yang berkualitas, pemantau-an, evaluasi dan penilaian kredibel atas setiap kemajuan dari intervensi-intervensi yang dilakukan pemerintah.
Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai tanpa investa-si pada kesejahteraan anak khususnya mengentaskan malnutrisi yang dampaknya jangka panjang. Let us begin.