Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa waktu terakhir sedang ramai perbincangan obat sakit kepala yang diduga dapat menjadi salah satu pemicu penyakit anemia aplastik dimedia sosial X.
Anemia aplastik sendiri merupakan kondisi masalah medis berupa anemia atau kurangnya darah didalam tubuh yang disebabkan karena ketidakmampuan sumsum tulang belakang dalam memproduksi sel darah baru.
Pada unggahan yang dilakukan salah satu pengguna media sosial X terdapat foto perbandingan kemasan lama dengan kemasan baru salah satu obat sakit kepala.
Foto tersebut menunjukan bahwa dikemasan obat sebelumnya yakni terdapat efek samping apabila mengonsumsi obat ini dalam dosis besar dan jangka lama yaitu menyebabkan kerusakan pada organ hati.
Namun pada kemasan terbarunya terdapat efek samping yang berbeda yakni dapat menjadi pemicu risiko anemia aplastik dan diskrasi darah.
“kindly reminder utk teman2 semuanya, jangan terlalu sering konsumsi obat ini yaaa. sender perhatiin ternyata keterangan efek sampingnya ditambahin, berisiko anemia aplastik. Kalo minum obat yg beredar di pasaran, mohon dibaca semua keterangannya utk jaga2 ya," tulis akun @tanyakanrl pada Minggu (19/04).
Melalui postingan dan pernyataan yang ditulis akun tersebut tentunya menarik banyak sekali perhatian publik karena obat sakit kepala ini merupakan salah satu obat yang sering dikonsumsi masyarakat.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati menjelaskan bahwa informasi tersebut belum sepenuhnya benar meski ada beberapa jenis obat yang berpotensi menyebabkan anemia aplastik.
Menurutnya, kasus anemia aplastik akibat mengkonsumsi obat-obatan termasuk jarang terjadi.
“Kejadian anemia aplastik akibat obat termasuk jarang. Apalagi seperti obat sakit kepala yang hanya digunakan dalam jangka pendek, jika perlu saja,” kata Zullies, dikutip dari laman resmi UGM.
Dia mengatakan, lembaga pengawasan obat pasca pemasaran di Indonesia belum menjumpai laporan kejadian anemia aplastik akibat obat.
Apalagi obat sakit kepala yang beredar di Indonesia menurutnya sudah mendapatkan izin BPOM dan aman digunakan.
“Selama digunakan sesuai dengan petunjuk pemakaiannya. Adanya informasi pada kemasan tentang risiko menyebabkan anemia aplastik memang perlu dicantumkan sesuai aturan BPOM, walaupun kejadiannya sangat jarang, yaitu 1 kasus per 1 juta pengguna,” katanya.
Zullies mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi obat-obat sakit kepala, meski ada informasi tentang efek samping anemia aplastik pada kemasannya.
Namun jika mengalami gejala sakit kepala yang terus menerus dan tidak kunjung sembuh dengan obat sakit kepala biasa, ia menyarankan untuk segera diperiksakan ke dokter karena mungkin merupakan gejala adanya gangguan penyakit lain yang lebih berat. Selain itu, rutin memantau efek samping obat-obat apapun yang digunakan, terutama jika digunakan dalam jangka waktu lama atau dalam dosis tinggi.
“Jika mengalami gejala yang mencurigakan seperti kelelahan yang tidak biasa, mudah memar, atau infeksi yang sering, sangat penting untuk segera menghubungi dokter,” paparnya.
Meski jarang terjadi, Zullies mengakui memang ada beberapa obat dilaporkan dapat berisiko menyebabkan anemia aplastik.
Namun perlu diingat bahwa kejadian anemia aplastik akibat penggunaan obat ini kejadiannya sangat jarang dan itupun terjadi pada penggunaan yang kronis dengan dosis besar, dan tidak selalu terjadi pada setiap orang.
Beberapa obat yang dilaporkan berisiko menyebabkan anemia aplastik meliputi antibiotik Chloramphenicol, Obatn anti-inflamasi nonsteroid, seperti indomethacin dan fenylbutazon, bisa berisiko menimbulkan anemia aplastik, meskipun kasusnya jarang. Lalu
Kelompok antibiotik ini, termasuk sulfasalazine dan trimethoprim-sulfamethoxazole, juga telah dikaitkan dengan anemia aplastik. selain obat antikonvulsan yang digunakan untuk mengobati epilepsi, seperti carbamazepine dan phenytoin, bisa menyebabkan anemia aplastik.
Tidak hanya itu, obat tiroid seperti propylthiouracil dan methimazole yang digunakan untuk mengobati hipertiroidisme. Obat sitotoksik dan kemoterapi, obat antiretroviral dalam beberapa kasus, obat-obatan yang digunakan untuk mengobati HIV/AIDS telah dilaporkan menyebabkan anemia aplastik.
Seperti diketahui, anemia aplastik merupakan penyakit sumsum tulang tidak mampu memproduksi sel-sel darah baru yang cukup, termasuk sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
Padahal sumsum tulang yang merupakan jaringan lunak yang terdapat di dalam tulang-tulang besar dan berfungsi untuk memproduksi sel-sel darah.
Gejala anemia aplastik dapat bervariasi, tetapi yang umum yang nampak terlihat dengan rasa kelelahan dan lemah akibat kurangnya sel darah merah, mudah memar atau berdarah karena kurangnya trombosit yang membantu pembekuan darah.
Mudah terserang infeksi yang sering atau parah akibat penurunan sel darah putih. Sering pusing atau pingsan dan terjadi pembengkakan di area tertentu, seperti pergelangan kaki, kaki, atau area lainnya.
Penyebab pasti dari anemia aplastik menurut Zullies sering tidak diketahui, tetapi beberapa faktor yang bisa berperan, antara lain, gangguan autoimun, paparan terhadap bahan kimia seperti pestisida atau pelarut organik, dapat merusak sumsum tulang.
Penggunaan obat-obatan beberapa obat, termasuk obat kemoterapi dan antibiotik tertentu, bisa merusak sumsum tulang. Bahkan terkena paparan radiasi dalam dosis tinggi dapat merusak sel-sel sumsum tulang. (Nur Afifah Azahra Aulia)