Bisnis.com, JAKARTA – Gangguan autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD), terutama pada anak, sering dikaitkan dengan hal negatif oleh masyarakat.
Padahal, jika ditangani dengan benar, anak dengan autisme dapat tumbuh dan berkembang layaknya orang lain. Apabila masyarakat memiliki informasi yang cukup tentang autisme, anak yang memiliki gangguan tersebut dapat didukung oleh lingkungan yang pengertian.
Menurut WHO, autisme adalah kondisi perkembangan otak yang sifatnya beragam. Hal ini yang menyebabkan gangguan autisme disebut “spektrum”, karena tipe autisme ada banyak.
Estimasi dari WHO adalah 1 dari 100 anak di dunia mengalami autisme. Terdapat kondisi tertentu yang bisa menyertai autisme, seperti epilepsi, depresi, kecemasan, hingga ADHD.
Dilansir dari WebMD dan Kennedy Krieger, berikut 5 mitos dan fakta sebenarnya mengenai autisme:
1. Mitos: Anak dengan autisme biasanya sangat bodoh atau jenius
Fakta: Kebanyakan orang yang memiliki autisme berkembang dan hidup normal dalam masyarakat. Hal ini dapat terjadi apabila mendapat dukungan dari lingkungannya dan diagnosis yang tepat dari ahli medis.
Dalam beberapa kasus lain seperti di India, orang yang memiliki autisme memang hampir selalu mengalami disabilitas intelektual. Namun, hal ini karena lingkungan mereka tidak mendukung. Diagnosis juga tidak sering terjadi jika spektrum autisme tidak ekstrim.
Selain itu, dikatakan bahwa skill yang sifatnya jenius seperti IQ tinggi, memori fotografis, dan kemampuan musik pada orang dengan autisme, sifatnya sangat langka.
2. Mitos: Gejala autisme selalu sama
Fakta: Gejala umum autisme ada 2: kesulitan memahami konteks sosial dalam komunikasi, dan sikap yang mengulang-ngulang dalam suatu minat.
Namun, karena autisme merupakan spektrum, setiap orang memunculkan gejala ini dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, ada yang hanya sulit berkomunikasi, sulit memahami isyarat, hingga tidak bisa berbicara sama sekali.
Dengan demikian, setiap orang yang memiliki autisme memiliki kebutuhan yang berbeda. Menurut Ariana Esposito (Autism Speaks), “Jika Anda kenal 1 orang dengan autisme, tidak berarti Anda tahu cara menangani kondisi autisme pada orang lain.”
Sifatnya yang beragam juga membuat autisme mendapat perubahan nama pada 2013 menjadi “autism spectrum disorder”.
3. Mitos: Orang dengan autisme tidak bisa bersosialisasi
Fakta: Orang dengan autisme akan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam berinteraksi. Namun, hal ini tidak berarti mereka sama sekali tidak bisa membangun hubungan antar manusia.
Terdapat riset tahun 2015 bahwa anak dan orang dewasa yang memiliki autisme cenderung lebih ingin memiliki hubungan yang mendalam dengan orang lain. Hal ini berlawanan dengan pemahaman bahwa orang autisme lebih suka sendirian.
Mengetahui hal ini, orang tanpa autisme juga harus memiliki pengertian terhadap orang dengan autisme. Terdapat kondisi yang menyebabkan mereka bisa saja dilihat sebagai orang yang menyebalkan. Misalnya, kata-katanya terkadang terlalu jujur dan tidak sopan. Ini termasuk gejala yang dimiliki orang dengan autisme.
Selama orang tanpa autisme bisa memahami ini, maka mereka dapat membangun lingkungan yang baik untuk anak dan orang dewasa dengan autisme.
4. Mitos: Anak yang divaksin bisa terkena gangguan autisme
Fakta: Tidak ada hubungan antara vaksinasi dan imunisasi dengan gangguan autisme.
Faktanya, tidak ada penyebab autisme yang spesifik. Biasanya, terdapat faktor genetik dan faktor lingkungan yang menyebabkan munculnya autisme pada anak.
Misalnya, usia ayah yang terlalu tua, kesehatan ibu yang kurang baik ketika mengandung, sakit kuning, komplikasi hamil, hingga infeksi pada bayi. Inilah pentingnya imunisasi bagi anak, untuk mencegah terjangkitnya infeksi tertentu.
5. Mitos: Hanya anak yang dapat didiagnosis autisme
Fakta: Semakin tinggi pemahaman ahli terhadap spektrum autisme, semakin banyak orang dewasa yang bisa didiagnosis memiliki autisme.
Ternyata, banyak sekali orang yang saat muda mengalami misdiagnosis. Biasanya, anak yang didiagnosis memiliki ADHD atau kecemasan/anxiety sebetulnya memiliki autisme. Namun, ahli medis saat itu masih belum menyadari tentang penyebab gejala-gejala yang muncul.
Selain itu, terdapat riset oleh psikolog David Catherine Lord yang menyebutkan bahwa gejala autisme dapat terlihat semakin jelas ketika seseorang semakin tua. Hal ini tergantung kondisi lingkungan kehidupannya–ada atau tidaknya peristiwa yang memicu munculnya gejala. (Ilma Rayhana)