Bisnis.com, JAKARTA — Platform video sesuai permintaan atau video on demand menjadi alternatif potensial bagi pelaku usaha di industri film. Pasalnya, ditundanya pembukaan bioskop menjadi hantaman berat bagi pelaku industri film.
CEO Ideosource Entertainment Andi Boediman menjelaskan bahwa kerugian industri perfilman diperkirakan mencapai US$133,32 juta sejak 4 bulan terakhir ketika Covid-19 melanda dan masih berpotensi lebih besar lagi sehingga layanan over-the-top (OTT) ataupun VoD menjadi pilihan saat ini.
“Kembali lagi tergantung dari produser cara pandangnya bagaimana karena setiap anggaran dari perusahaan kan ada kebutuhan yang berbeda, salah satunya dari arus kas sehingga daripada menunggu bioskop yang belum pasti, OTT bisa menjadi pilihan mereka,” tuturnya kepada Bisnis, Rabu, (5/8).
Namun, dia menyebutkan bila melakukan langkah tersebut industri film harus siap kehilangan potensi pemasukan dari layar lebar. Pasalnya, skema atau alur pemasukan dari industri film memiliki tiga rangkaian agar dapat memaksimalkan pendapatan.
“Kalau mau memaksimalkan pendapatan, biasanya memang layar lebar memang menjadi pintu pertama, kemudian 3–4 bulan setelah tayang di bioskop, OTT menjadi pintu kedua, dan terakhir adalah televisi. Hal ini karena konten adalah permainan eksklusivitas,” jelasnya.
Menurutnya, bila sesuai dengan alur platform VoD dapat memberi kontribusi sebesar 10 persen hingga 30 persen terhadap total pendapatan industri film di Indonesia, khususnya pada film yang sudah tayang, tetapi terpaksa turun layar sebagai antisipasi Covid-19.
“Kalau yang sudah tayang, contohnya film Mariposa’mereka akan menunggu untuk tayang kembali setelah bioskop buka kembali untuk mengikuti alur dari pintu pertama hingga ketiga agar dapat memaksimalkan pemasukan mereka,” jelasnya.
Namun, kesempatan lain dimiliki oleh film yang belum tayang sama sekali sehingga dapat melakukan kerja sama dengan VoD.
“Seperti film Guru-Guru Gokil, kasusnya daripada menunggu bioskop buka sehingga ke Netflix untuk menjadikan film tersebut sebagai original film mereka [Netflix]. Dan, tidak bisa ditayangkan [lagi] di bioskop, dengan menghilangkan alur dari pintu pertama kesempatan monetisasinya 100 persen dari OTT,” terangnya.
Dia menjelaskan bahwa kesepakatan film yang belum tayang akan dibayar secara premium oleh pihak OTT, yaitu pembayaran atas estimasi modal dan profit ke depan.
“Karena melepaskan pemasukan dari bioskop, pihak produser minta ke OTT untuk membayarkan modalnya ditambah profit, saat ini pilihan dan langkah ini baik, untuk pilih yang pasti-pasti saja,” jelasnya.
Director of Content SEA and New Zealand Netflix Myleeta Aga menyebutkan bahwa pihaknya secara aktif melakukan komunikasi dengan sineas Tanah Air, khususnya produser dan sutradara untuk mencari cerita cerita menarik lainnya agar film Indonesia makin meramaikan platform tersebut.
“Cerita-cerita hebat bisa datang dari mana saja dan kami akan terus bekerja sama dengan para pembuat film Indonesia serta menyaksikan lebih banyak cerita berkualitas dari Indonesia,” ujarnya.