Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan vaksin Amerika Serikat Johnson & Johnson (J&J) menghentikan sementara uji coba klinis vaksin Covid-19 dikarenakan satu relawan dikabarkan jatuh sakit.
J&J menyatakan bahwa penyakit yang diderita relawan tersebut sedang ditinjau. Namun, perusahaan menolak memberikan rincian.
“Kami harus menghormati privasi relawan. Kami juga mempelajari lebih lanjut tentang penyakit peserta ini, dan penting untuk mengetahui semua faktanya sebelum kami membagikan informasi tambahan,” kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan dikutip dari Stat News, Selasa (13/10/2020).
Pada 23 September 2020, J&J mulai mendaftarkan relawan dalam uji coba Fase III. Sebanyak 60.000 relawan di Amerika Serikat dan negara lain menjalankan uji klinis ini.
J&J menekankan bahwa kejadian buruk seperti penyakit, kecelakaan, dan hasil medis yang buruk lainnya merupakan bagian yang diharapkan dari uji coba vaksin Covid-19.
Selain itu, J&J juga menekankan perbedaan antara jeda uji coba dan penangguhan klinis, yang merupakan tindakan regulasi formal yang dapat bertahan lebih lama. Saat ini, uji coba vaksin tidak dalam pengawasan klinis.
J&J mengatakan bahwa biasanya pemeriksaan klinis diinformasikan kepada publik tetapi tidak tentang penundaan uji coba vaksin. Badan pemantau data dan keamanan, atau DSMB, berkumpul Senin malam untuk meninjau kasus tersebut.
Meskipun uji klinis berhenti, tidak jarang – dalam beberapa kasus hanya berlangsung beberapa hari – hal itu menimbulkan perhatian yang sangat besar untuk menguji vaksin terhadap SARS-CoV-2, yakni virus yang menyebabkan Covid-19.
Hal yang sama juga dialami AstraZeneca dan Universitas Oxford pada September lalu. Uji klinis vaksin Covid-19 dihentikan sementara karena adanya dugaan reaksi pada seorang pasien di Inggris Raya.
Dipercaya bahwa pasien menderita myelitis transversal, yakni masalah pada sumsum tulang belakang. Uji coba vaksin dilanjutkan kira-kira seminggu setelah dihentikan sementara di Inggris Raya, dan sejak itu telah dimulai kembali di negara lain. Namun, kegiatan tersebut tetap ditahan di Amerika Serikat.