Bisnis.com, JAKARTA - Sebagian besar masyarakat Indonesia masih ragu-ragu terhadap vaksin Covid-19 (virus corona) yang dikembangkan oleh Sinovac dan Bio Farma.
Hal tersebut terungkap melalui survei yang dilakukan oleh Koalisi Warga LaporCovid-19 pada Agustus-September 2020. Survei tersebut melibatkan 328 responden dari seluruh provinsi di Indonesia.
Koordinator Koalisi Warga LaporCovid-19 Irma Hidayana menyebut 60 persen responden menyatakan keraguannya terhadap vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac dan Bio Farma. Bahkan, sebagian diantaranya menyatakan tidak bersedia untuk divaksinasi menggunakan vaksin tersebut.
Menurut Irma, keraguan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac dan Bio Farma tak terlepas dari ketidakseimbangan informasi dari pemerintah. Dia menilai pemerintah cenderung menyampaikan keunggulan vaksin tersebut atau melakukan kurasi informasi, alih-alih proses pengembangan secara transparan.
"[Informasi yang disampaikan,] selalu fokus pada keunggulan vaksin dan bagaimana vaksin ini sangat diperlukan. Tetapi proses [pengembangannya] belum sama sekali tergali. Pengadaan juga menjadi sorotan, terutama alokasi anggarannya," katanya dalam sebuah diskusi daring yang digelar pada Rabu (4/11/2020).
Lebih lanjut, Irma menuturkan tidak hanya transparansi yang menimbulkan keraguan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac dan Biofarma. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah nasionalisme.
Seperti diketahui, vaksin tersebut dikembangkan oleh perusahaan asal China, yakni Sinovac Biotech yang dalam perkembangannya menggandeng BUMN farmasi Bio Farma. Di sisi lain, sedang dikembangkan pula vaksin Merah Putih oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Pernyataan Irma didasari oleh hasil survei yang mengungkapkan bahwa 56% masyarakat Indonesia ragu terhadap vaksin Merah Putih. Lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang ragu dengan vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac dan Biofarma.
"Artinya banyak yang ragu-ragu menerima vaksin Sinovac dan Biofarma daripada vaksin Merah Putih," tegasnya.
Untuk menggali lebih jauh seberapa besar faktor nasionalisme mempengaruhi keyakinan masyarakat terhadap vaksin Covid-19, Irma menyebut pihaknya akan melakukan survei dan pengamatan terkait hal tersebut.
Di sisi lain, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perawat Nasional (PPNI) Harif Fadhillah menilai pihaknya tidak mempermasalahkan asal atau pihak yang mengembangkan vaksin Covid-19 yang akan diberikan kepada masyarakat. Justru yang harus diperhatikan adalah keamanan dan seberapa jauh kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang divaksinasi.
Harif meyakini pemerintah tidak akan gegabah dalam memutuskan kebijakan terkait dengan vaksinasi Covid-19.
"Sangat tidak masuk akal kalau pemerintah gegabah dalam memberikan vaksin [Covid-19] ini," katanya.
Harif menambahkan hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah saat ini adalah mekanisme pemberian vaksin dan siapa saja yang diprioritaskan untuk mendapatkan vaksinasi. Menurutnya, pengelompokkan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih belum spesifik.
"Bagaimana nanti pada saat pemberiannya juga kami tanyakan saat ini. Harus sudah mulai dipikirkan lima kelompok masyarakat yang mendapatkan prioritas [vaksinasi] ini kriterianya apa saja," katanya.
Sebagai catatan, dari 100 juta orang yang akan divaksinasi, lima kelompok yang akan mendapatkan prioritas vaksinasi Covid-19 pertama adalah garda terdepan, terdiri dari medis, paramedis, petugas penelusur kontak (contact tracing), pelayan publik termasuk TNI dan Polri.
Kedua, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta sebagian pelaku ekonomi. Ketiga adalah seluruh tenaga pendidik mulai dari PAUD/TK, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Sedangkan kelompok prioritas keempat adalah aparatur pemerintah di tingkat pusat maupun daerah serta anggota legislatif. Kelima atau terakhir adalah peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).