Ratna Sarumpaet, Ketua Dewan Kesenian Jakarta 2003-2006. /ANTARA-Wahyu Putro A
Entertainment

Jejak Pemimpin Perempuan di Dewan Kesenian Daerah

Janlika Putri Indah Sari
Selasa, 20 April 2021 - 14:17
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Jejak pemimpin perempuan di dewan kesenian masih minim. Banyak faktor yang membuat keadaan tersebut. Nyatanya, sejumlah sosok perempuan berhasil menorehkan jejak memimpin dewan kesenian daerah.

Peneliti Kebijakan Koalisi Seni Rahma Safira S. menyebutkan setidaknya tiga faktor yang menyebabkan minimnya perempuan pemimpin di dewan kesenian. Pertama, tanggung jawab yang besar sebagai ketua tidak diiringi dengan manfaat ekonomi yang sepadan.

Kedua, tuntutan pengetahuan dan tanggung jawab tersebut yang disertai keharusan bagi perempuan untuk tetap mengelola kehidupan domestik. Ketiga, tata kelola kelembagaan dewan kesenian daerah, dan mekanisme pemilihan dalam kepengurusan.

“Dalam menjelajahi keterlibatan perempuan pada posisi kepemimpinan dewan kesenian daerah, kita perlu pula mempertanyakan tata kelola kelembagaan dewan kesenian daerah,” katanya pada keterangan resmi yang diterima Bisnis, Selasa (20/4/2021).

Menurut Rahma, terdapat tiga metode pemilihan dalam kepengurusan dewan kesenian daerah.

Pertama, pengusulan dan seleksi pengurus harian oleh akademi, seperti yang dilakukan Dewan Kesenian Lampung. Sejak kepengurusan 2020-2024, DKL bersama Akademi Lampung (AL) dan Yayasan Kesenian Lampung (YKL) menjadi bagian dari Pusat Kesenian Lampung.

Pemilihan Pengurus Harian DKL dilakukan dalam sebuah Rapat Pleno, forum di mana Akademi Lampung mengajukan kandidat pengurus harian. Nama-nama kandidat itu berasal dari susunan Pengurus Harian DKL periode sebelumnya maupun figur-figur baru. Selanjutnya, AL melakukan pemilihan Pengurus Harian dengan pemungutan suara.

Metode pemilihan ini berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan di DKL, karena proses musyawarah hanya dihadiri pengurus lama yang nyaris semuanya lelaki. Perempuan sulit mendapat kesempatan terpilih menjadi Pengurus Harian karena seleksi bergantung pada preferensi dan perspektif pengurus lama.

Kedua, seleksi pengurus harian melalui forum musyawarah daerah tahunan, yang sekaligus membahas laporan pertanggungjawaban tahunan kepengurusan periode sebelumnya. Ini diterapkan Dewan Kesenian Jakarta. Pemilihan susunan Pengurus Harian di DKJ dilakukan melalui rapat pleno yang dihadiri oleh anggota DKJ.

Pada forum itu dipaparkan peran DKJ serta pertanggungjawaban program periode sebelumnya. Setelah itu, akan dibacakan kriteria Pengurus Harian menurut AD/ART DKJ. Kandidat Pengurus Harian serta ketua enam komite DKJ dapat mencalonkan diri sendiri atau dicalonkan, lantas dipilih melalui metode pemungutan suara.

Dari segi jumlah, dinamika keterlibatan perempuan dalam susunan pengurus harian dan komite di DKJ sudah cukup seimbang, dan hampir sepenuhnya berasal dari kalangan praktisi kesenian. Tetapi, sangat sedikit perempuan menjadi Ketua Umum di DKJ masih cenderung minim, meski dalam sejarahnya ada figur perempuan yang pernah menduduki posisi itu, seperti Ratna Sarumpaet pada 2003-2006.

Selain itu, DKJ memiliki sifat kolegial sehingga berimplikasi pada tidak adanya mekanisme penilaian kinerja (performance appraisal) pengurus harian. Hal ini memicu rendahnya minat perempuan untuk mengisi posisi strategis di DKJ, sebab jabatan yang diemban menjadi bergantung pada tanggung jawab moral dan etika pribadi, sehingga terdapat kecenderungan memprioritaskan pekerjaan yang lain.

Ketiga adalah seleksi Pengurus Harian dengan penunjukan langsung oleh Kepala Daerah atau secara aklamasi dalam musyawarah daerah. Metode aklamasi digunakan dalam pemilihan Ketua Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau 2019-2024, yang merupakan petahanan Ketua dari periode sebelumnya.

Sementara itu, Jabatan Ketua Umum DKL pernah diduduki perempuan, seperti Yustin Ficardo (2015-2019) dan Syafariah Widianti untuk dua periode berturut-turut (2008-2015). Peran Yustin dan Syafariah di kursi Ketua Umum ini kental dengan motif politis karena mereka adalah istri Gubernur.

Keputusan menempatkan istri gubernur sebagai ketua dewan kesenian daerah kerap disertai harapan terhadap kemudahan kucuran dana dari Pemerintah Daerah untuk pengembangan kesenian.

Riana Sari, Istri Gubernur Provinsi Lampung (2019-2024), sempat ditawari menjadi Ketua Umum DKL 2020-2024, namun karena ia menyatakan tak bersedia, posisi tersebut beralih ke lelaki. Adapun jabatan ketua harian didapuk dari kalangan seniman yang biasanya adalah laki-laki.

DKL melibatkan perempuan untuk berkesenian dalam program-programnya. Tak hanya perempuan yang berprofesi seniman, tetapi juga non-seniman, seperti ibu rumah tangga. Tujuannya, membangun apresiasi seni yang berkelanjutan di masyarakat, sebagaimana nilai penghayatan dan penghargaan terhadap seni diturunkan dari ibu kepada anak-anaknya.

Saat ini, DKJ memposisikan seni sebagai platform melayani kepentingan komunitas seni di Jakarta. Fokus utama DKJ ada pada eksperimentasi artistik, sedangkan kegiatan berperspektif gender cenderung sekadar disematkan, tidak diarusutamakan secara programatik. Keberadaan program gender pun sangat tergantung pada perspektif para pimpinan DKJ.

Rahma juga membahas periode kepemimpinan Ratna Sarumpaet. Menurutnya, perspektif gender secara sadar disorot melalui program yang khusus mengakomodasi seniman perempuan, seperti penyelenggaraan Women Playwrights International Conference 2005 guna membangun jejaring dan komunikasi para perempuan penulis drama dan pegiat teater.

Ketika dipimpin laki-laki, contohnya Irawan Karseno (2015-2018), DKJ menghadirkan pula kegiatan yang berhubungan dengan perempuan. Antara lain, Proyek Seni Perupa Perempuan yang bertujuan jadi wadah pengembangan praktik seni rupa kontemporer, serta memetakan dan mendukung perkembangan seniman perempuan Indonesia.

Untuk meningkatkan jumlah dan kualitas perempuan di posisi kepemimpinan di Dewan Kesenian daerah, seniman perempuan perlu membangun kesadaran akan signifikansi posisinya dan aktif mendesak adanya program yang lebih berpihak pada seniman perempuan. Selain itu, perlu pula ada evaluasi mendalam terhadap tata kelola Dewan Kesenian daerah maupun pihak yang menjalankan tata kelola tersebut.

“Jika kesetaraan perempuan dan laki-laki telah disuarakan Kartini sejak berabad silam, sekarang tugas kita menerjemahkan perjuangannya di masa kini, tak terkecuali dalam seni. Dengan lebih sensitifnya kesadaran terhadap keterwakilan perempuan dalam tata kelola seni, ekosistem seni Indonesia akan semakin adil bagi semua gender,” pungkas Rahma.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro