Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Kasus Kanker Payudara di Indonesia Masih Tinggi, Ini Masalahnya

Kanker payudara masih menjadi polemik dan ancaman di seluruh dunia. Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara.
Janlika Putri Indah Sari
Janlika Putri Indah Sari - Bisnis.com 02 Juli 2021  |  23:55 WIB
Kasus Kanker Payudara di Indonesia Masih Tinggi, Ini Masalahnya
Saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit untuk mendeteksi kanker payudara. - indonesiawomenimaging.org

Bisnis.com, JAKARTA — Kanker payudara masih menjadi polemik dan ancaman di seluruh dunia. Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara.

Mewakili Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS) Dokter Kardinah mengatakan menambahkan deteksi dini dimulai dari yang bisa dilakukan sendiri oleh semua individu bisa mencegah kanker semakin parah.

"Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mamograf," ujarnya pada keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (2/7/2021).

Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (Perarobi) menemukan dari 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70 persen adalah stadium 3 dan 4. Untuk menekan kejadian kanker payudara tahap lanjut itu dibutuhkan sebuah kebijakan nasional mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan.

Namun, belum semua negara, seperti negara miskin dan berkembang memiliki semua kebijakan ini. Deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) dan Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis).

Dari perkembangan pihak klinis, saat ini sudah ada 3D atau automated breast USG di beberapa rumah sakit untuk mendeteksi kanker payudara.

Kemudian, di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi tersedia mamografi yang berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.

"Sarana deteksi dini sudah ada sebagai program nasional yang telah dibuat sejak 2008, sistem rujukan juga telah diperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Jangan hanya berpikir benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” tambah Kardinah.

Selain itu, setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar.

Menurut Ketua Perarobi Dokter Walta Gautama, ketika pasien merasa ada benjolan membutuh waktu 1-3 bulan untuk berani datang ke fasilitas kesehatan. Dan butuh waktu 9-15 bulan sampai ditangani dengan benar.

"Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” paparnya.

Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.

“Masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer me fasilitas sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain,” tandas dr. Walta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

kanker payudara payudara
Editor : Fatkhul Maskur

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    Terpopuler

    Banner E-paper
    back to top To top