Bisnis.com, JAKARTA – Masalah keuangan yang cukup terdampak selama masa pandemi Covid-19 ini membuat banyak masyarakat stres dan menjadi emosional.
Berdasarkan survei bertajuk ‘Dampak Pandemi terhadap Kondisi Kesehatan Mental’ yang dilakukan oleh Teman Bumil, aplikasi ibu milenial, bekerjasama dengan Populix, terhadap 1.192 orang, ditemukan bahwa 56 persen responden mengaku stress dengan kondisi tersebut.
Gejala stres yang dialami antara lain cemas (29 persen), sulit tidur (18 persen), mudah marah (17 persen) dan kehilangan minat untuk mengerjakan apapun. Sayangnya, tidak ada responden yang mencoba mencari bantuan ke profesional (dokter atau psikolog). Mereka cenderung pasrah dan berserah diri (63 persen) atau minta dukungan ke suami (19 persen). Ibu rumah tangga lainnya mencoba mencari kesenangan dan hiburan diri sendiri (8 persen)
Baca Juga Ini Cara Mudah Menjaga Kesehatan Mata |
---|
Psikolog Keluarga dari Klinik Terpadu UI Anna Surti Ariani mengatakan bahwa sektor keuangan memang menjadi aspek penting dalam keluarga. Bahkan sebagian besar masalah di keluarga bisa berujung pada masalah keuangan. Misalnya saja di masa pandemi ini, ketika ada anggota keluarga yang terkena penyakit kronis maka ruangan pasti akan terdampak akibat biaya ekstra ke rumah sakit atau melakukan tes swab.
“Awalnya mungkin hanya masalah kesehatan, tetapi berujung pada keuangan karena yang bersangkutan harus tetap bekerja demi merawat anggota keluarga yang sakit. Bisa muncul pula ketegangan dengan pasangan karena kelelahan mengurus keluarga yang sakit,” jelasnya, Rabu (11/11/2020).
Meski demikian, dia melihat bahwa secara perlahan masyarakat kian terbiasa dengan kondisi akibat pandemi dan mulai menunjukkan tanda-tanda survive. Beberapa ada yang mulai menjalankan bisnis, dan saling membeli usaha dari teman-temannya sehingga dapat saling membantu menyelamatkan di tengah kondisi saat ini.
Secara psikologis, menurut wanita yang akrab disapa Nina ini, adaptasi terhadap kebiasaan baru tersebut merupakan tanda menuju ke tahapan rekonstruksi emosi.
Dia lantas menjelaskan adanya fase-fase emosional dalam kebencanaan. Di awal pandemi, emosi akan mudah terstimulasi sehingga muncul rasa cemas dan panik. Bersamaan dengan emosi yang tersulut, muncul rasa heroic sehingga banyak relawan yang saling memberikan bantuan.
Ketika semua sudah dilakukan dan pandemi tak juga berakhir, emosi kembali jatuh ke titik terdalam. Sebagian orang mengalaminya ketika korban Covid-19 semakin banyak. Namun, seiring waktu, masyarakat mulai bisa menerima.
“Saat ini masyarakat tengah menuju emosi rekonstruksi. Artinya masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Kita menyebutnya masa desensitisasi emosi yakni tidak lagi mudah merasa cemas,” jelas Nina.
Meski demikian, sambungnya, rasa cemas tetap diperlukan. Tidak merasa cemas justru berbahaya karena menjadi abai. Sebaliknya cemas terlalu tinggi juga tidak baik karena beranggapan bahwa apapun yang dilakukan akan sia-sia.
Dengan menggunakan masker setiap ke luar rumah sebenarnya menunjukkan bahwa kita memiliki kecemasan akan tertular tetapi bisa beradaptasi dengan baik. “Bagi yang tidak menggunakannya, artinya belum beradaptasi,” ujar Nina.
Nina mengingatkan bahwa pada bulan Januari hingga Maret 2021 nanti, akan ada potensi penurunan emosi terkait anniversary reaction. Banyak orang yang berharap setahun setelah pandemi, kondisi akan membaik.
Jika kondisi tidak seperti yang diharapkan atau pandemi masih terus berlangsung, sangat mungkin emosi masyarakat kembali jatuh. Maka yang harus dipertahankan, menurut Nina, adalah menghindari stres berkepanjangan.
“Ketika stres biasanya komunikasi dengan suami dan anak menjadi masalah, dan pada akhirnya saling menyakiti,” ujarnya.