Bisnis.com, JAKARTA -- Penyakit jantung merupakan ssalah satu penyumbang angka kematian terbesar di Indonesia. Beberapa di antaranya tidak terdeteksi karena kematian mendadak.
Kematian mendadak pada penyakit jantung umumnya disebabkan oleh gangguan irama jantung atau disebut aritmia, yang berupa fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel yang cepat, di mana detak jantung penderitanya bisa lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan orang normal.
Salah satu cara untuk mengatasi dan menghindari kematian mendadak adalah dengan memasang alat pacu jantung atau kardiak defibrilator implan (ICD) agar mampu menormalkan denyut jantung sehingga terhindar dari risiko fatal.
dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital, menjelaskan bahwa saat ini pemasangan ICD kini tak perlu langsung di jantung, tetapi bisa diletakkan di bawah kulit melalui metode Subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator (S-ICD).
Namun, sayangnya di Indonesia prosedur ini belum begitu populer. Terlihat dalam data Asia Pascific Heart Ryhtm Society (APHRS) bahwa di Indonesia sepanjang 2021 hanya ada 66 orang yang menggungakan prosedur ICD dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, misalnya Thailand yang sudah menggunakan ICD untuk 890 pasien.
"Salah satu alasannya karena biaya prosedurnya yang tidak murah dan tidak dicover BPJS. Karena di negara lain prosedur ini dicover oleh asuransi kesehatan negaranya," jelasnya.
Menurut dr. Sunu, yang juga tergabung dalam organisasi aritmia, yang mempunyai hak untuk mendapatkan itu banyak, tapi karena rumah sakit tidak bisa meng-cover untuk subsidi biayanya, karena harus menyiapkan biaya untuk operasional.
"Masalahnya, kalau semua pasien yang perlu itu semua dipasang [ICD], rumah sakitnya bisa rugi. Harusnya BPJSnya yang mengkaver, itu yang terjadi di Singapura, Malaysia, Thailand," ujarnya.
dr. Suni menyebutkan, BPJS hanya menanggung biaya untuk pemasangan alat pacu jantung sekitar Rp50-60 juta, terakhir 2016. Sementara pada 2023 naik menjadi sekitar Rp70-an juta.
"Kami mengadvokasi, nggak boleh seperti ini, karena ini soal nyawa. Biaya standarnya Rp130-150 juta atau bisa sampai Rp200 juta, sedangkan BPJS membayar ke rumah sakit, memberikan klaim bisa cover semua, tapi yang dibayarkan ke rumah sakit hanya sekitar Rp50-60 juta, jadi rumah sakit mana yang mau?" katanya.
Dengan kemajuan teknologi, saat ini, pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous Implantable Cardioverter Defibrillator. Hal ini mampu memberi komplikasi lebih kecil dan yang tidak kalah penting, aktivitas pasien lebih tidak terganggu.
Dengan terpasangnya alat ICD pada seseorang yang berisiko tinggi, saat terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut. Dengan begitu, orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.
"Oleh karena itu, berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi kelas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi Kematian Jantung Mendadak [KJM]," jelasnya.