Bisnis.com, JAKARTA - Regenerasi band di blantika musik Tanah Air saat ini tampaknya masih sulit terjadi.
Meski tren musik terus berganti, dan band pendatang baru terus bermunculan tetap saja masyarakat masih lebih mengenal group band yang lahir pada era 90an hingga 2000an.
Sebut saja Padi, Slank, Noah atau Peterpan, Gigi, Ungu, Dewa 19, dan lain sebagainya.
Sempat muncul era band Pop Melayu dengan musik mendayu-dayu yang pernah berjaya di masanya yang ketika itu didominasi oleh group Kangen Band, Hijau Daun, Vagetoz, Radja, Armada, hingga Wali. Namun, kini karya terbaru dari band-band tersebut sudah jarang tedengar, beberapa diantaranya bahkan telah bubar.
Pengamat Musik Bens Leo mengatakan bahwa band-band legendaris yang muncul pada era 90an hingga 2000an masih tetap eksis dan bertahan hingga saat ini karena kemampuan mereka dalam mengelola para penggemar.
“Kuncinya ada pada manajemen. Tidak hanya manajemen di dalam internal band tersebut tetapi juga bagaimana mereka mampu mengelola penggemarnya dengan baik,” ujar Bens.
Bahkan kekuatan penggemar yang sangat solid itu pula yang membuat band-band papan atas tersebut berkarya kembali meski sempat vakum. Bens mencontohkan bagaimana group band Padi yang sempat vakum dan hampir bubar ketika ditinggalkan oleh sang gitaris, Piyu sekitar 7 tahun lamanya
Para fans setia Padi yakni Sobat Padi yang terus meminta agar Piyu kembali bergabung dengan group band yang telah membesarkan namanya tersebut. Hingga akhirnya pada 2018 Piyu kembali bergabung dan Padi hadir kembali dengan nama Padi Reborn.
Begitu pula dengan Peterpan yang ketika itu sempat vakum saat sang vokalis, Ariel terseret kasus video asusila. Namun para fans tetap setia hingga akhirnya ketika Ariel bebas dan mengganti nama menjadi Noah, band tersebut tetap dicintai.
Bens mengatakan salah satu yang menyebabkan para fans begitu setia karena band-band tersebut sering bernyanyi di atas panggung dan menyapa langsung para penggemarnya secara massal sehingga energi dan kedekatan emosional antaa band dan penggemarnya menjadi sangat erat.
“Kondisi ini tentu saja tidak lagi bisa didapatkan di masa pandemi saat ini karena adanya pembatasan sosial yang membuat para musisi sulit bernyanyi dan menyapa langsung para penggemarnya,” ujar Bens.
Hal ini pula yang kemudian membuat band-band baru menjadi lebih sulit mendapatkan penggemar setia seperti halnya musisi yang lebih senior.
Apalagi sejak memasuki era digital tahun 2005, label-label rekaman tidak sekuat dulu lagi dalam melahirkan band-band besar.
Sebab, sebagai perusahaan tentu label rekaman membutuhkan cashflow untuk menggerakan roda perusahaan sedangkan penjualan album tidak sebanyak seperti sebelumnya karena sebagian besar pendengar sudah mulai beralih ke digital, apalagi saat ini ketika era digital sudah semakin mendominasi.
Kondisi ini menyebabkan regenerasi band-band baru menjadi lebih sulit terjadi. Bila pun ada, sebagian besar regenerasi band lebih banyak bernaung di bawah label Indie atau band-band Indie. Adapun label yang masih cukup banyak menaungi band Indie adalah Nagaswara.
“Regenerasi band memang cukup banyak terjadi tetapi kebanyakan band-band Indie, paling banyak di Yogya setelah era Sheila on Seven dan Letto, sama di Bandung usai eranya Rif dan Peterpan,” ujarnya.
Meski saat ini regenerasi band-band Indie terbilang cukup banyak tetapi Bens menilai bahwa band-band tersebut agaknya sulit untuk bisa bertahan lama terutama bagi mereka yang tidak memiliki basis fans setia atau ketika formasinya mulai berubah.
"Terutama di masa pandemi ini ketika mereka tidak lagi bisa menyapa langsung penggemarnya. Hubungan emosional antara penyanyi dan fans menjadi tidak sekuat dulu lagi," tuturnya.
Selain itu, munculnya band baru juga sangat dipengaruhi oleh media sosial. Bens mencontohkan bagaiman group band Weird Genuis bisa langsung mendapatkan tempat di hati masyarakat ketika sukses dengan single berjudul Lathi.
“Namun memang tidak mudah bagi mereka untuk bisa menggapai ulang popularitas seperti single awal karena saat ini semua sudah sangat bergantung pada media sosial. Meski demikian, mereka harus terus berkarya agar tetap dikenal oleh masyarakat,” ujarnya.
Solois
Kondisi berbeda terjadi pada penyanyi Solo yang menurutnya lebih mudah diterima pasar dan proses regenerasinya terbilang lebih mudah.
Selain itu, para penyanyi Solo ini juga memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan banyak didukung oleh media televisi maupun media sosial dengan banyaknya ajang pencarian bakat.
Beberapa penyanyi bahkan datang dari media sosial dan ajang pencarian bakat sebut saja Judika, Fatin Shidqia, Andmesh, Kunto Aji, Tiara, bahkan penyanyi dangdut seperti Nassar hingga Lesti Kejora.
“Penyanyi solo ini ruang geraknya lebih leluasa dan mereka juga bisa dengan mudah berkarya sendiri atau merapat dengan para hits maker,” terangnya.